Atraksi Seni dalam ruang bambu. Bilah-bilah bambu dalam suatu bentukan arsitektur kontemporer yang artistik. Gagasan tersebut tertuang dalam sebuah bangunan panggung atraksi. Bangunan ini dirancang semi-terbuka agar lebih menyatu dengan keindahan suasana alam yang mengelilinginya. Berada di tengah-tengah kompleks wisata taman buah di daerah Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, bangunan ini difungsikan sebagai amfiteater. Fasilitas tersebut dihadirkan sebagai wahana untuk menampilkan berbagai kegiatan seni yang mendukung pelestarian budaya daerah di Indonesia seperti musik tradisional, wayang, tarian, dan seni membatik. Pengelola bangunan berharap, selain sebagai pelengkap wisata agro, keberadaan anfiteater juga dapat menjadi sarana edukasi seni dan budaya, khususnya bagi anak-anak dan generasi muda.
Konsep kembali ke alam (back to nature) yang diinginkan oleh pengelola bangunan merupakan dasar pengaplikasian material bambu. Pon S. Purajatnika, arsitek asal Bandung yang sudah cukup lama menekuni arsitektur bambu, ditunjuk sebagai perancang bangunan,. Arsitek merancang bangunan ini sebagai sebuah panggung semi-terbuka, bangunan ternaungi dengan atap tetapi tidak memiliki dinding masif. Dengan demikian, pengguna bangunan tetap dapat menikmati keasrian dan keindahan visual di luar bangunan yang dikelilingi berbagai tanaman buah serta indahnya view danau dan pegunungan.
Bangunan berukuran 12 m x 12 m ini dinaungi dengan atap yang disokong oleh struktur bambu. Desain atap dan struktur bambu membentuk identitas bangunan. Gubahan atap mengambil inspirasi dari berbagai tipikal bentuk atap rumah-rumah tradisional di wilayah Sunda Besar. Karakter setiap atap kemudian digabungkan menjadi sebuah atap kontemporer yang estetis, artistik, dan kontekstual. Sebagai penutup atap digunakan sirap kayu ulin yang dipaku ke struktur rangka penutup atap untuk merespon kondisi site yang berangin kencang.
Area pertunjukan dirancang menggunakan konsep standar amfiteater yaitu dengan tribun (penonton) melingkar yang mengelilingi area di tengah sebagai tempat atraksi. Arsitek "membungkus" area ini dengan perkerasan beton yang dipadukan dengan batu alam. Perkerasan setinggi 60 cm juga diberlakukan pada fondasi.